Feb 4, 2022 1 komentar

SEA --- 1




Diam. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Mereka akan melihatku menjadi seorang yang aneh jika aku mendadak menjadi banyak bicara. Buatku, diam adalah istanaku. Benteng terbesarku yang mampu melindungiku dengan kokoh. Banyak yang mempertanyakan sikapku yang diam seperti ini. Diam, dingin, jarang tersenyum, dan seperti enggan menjalani hidup. Aku tidak peduli yang lain berpendapat apa. Sikap ini, adalah satu-satunya pelindungku. Pelindung yang paling aman sedunia. Pelindung dari efek samping sebuah keluarbiasaan yang ada dalam diriku. Keluarbiasaan yang ingin kubuang jauh-jauh dan kulepaskan dengan suka rela. Tapi itu tidak mungkin terjadi,,, kecuali ada seseorang yang menusukkan pisau langsung tepat kejantungku.
                Namaku Sea. Sea yang memiliki arti laut. Pamanku yang memberikan nama itu ketika aku masih bayi. Menurutnya, Sea adalah nama yang tepat untukku. Dengan kecantikan laut yang luar biasa saat sore hari. Warna biru laut yang tenang namun penuh ombak. Dan kedalamannya yang kadang tak terukur. Ia memberikan nama itu untukku dengan segala kecintaannya pada laut bebas dan segala tumpah ruah kasih sayangnya padaku saat itu.
                Banyak yang mengira, aku dan Paman adalah ayah dan putri kesayangannya. Sebenarnya tidak. Aku yatim piatu ketika Paman menemukanku di lautan lepas saat ia berlayar. Entah dari mana asalnya. Ia melihat sebuah perahu kecil terombang-ambing tidak jauh dari kapal yang ia tumpangi. Begitu melihat isi perahu kecil tersebut, ia menemukanku. Sendirian.
               
                “FAHMIII!! AKU MELIHAT SESUATU DISANA!!” Manson menunjuk-nunjuk sesuatu yang ia lihat tak lazim di lautan lepas. Deru angin yang membantu ombak mengombang ambingkan perahu sederhananya memaksanya untuk berteriak agar suaranya tak tertiup angin kencang untuk sampai ke telinga Fahmi, sang sahabat yang selalu berlayar menemaninya kemanapun dalam kegilaan lautan lepas.
                Fahmi cepat tanggap, dengan sigap ia segera membuka layar agar cepat sampai ke objek yang terlihat oleh mata teliti Manson. Begitu dekat, Manson mulai mengenali wujud benda itu. Ternyata sebuah mangkuk besar terbuat dari, “Apa ini?” Manson tidak bisa mengenali mangkuk besar itu terbuat dari apa, dia baru melihatnya saat itu. Tapi, ia sangat tau apa yang ada didalamnya. Seorang bayi perempuan yang putih bersih,kulitnya bersinar tersentuh warna matahari. Manson terkejut, ia tidak habis pikir bagaimana seorang bayi cantik nan mungil bisa ada dilaut lepas seperti ini? Manson mengambil tongkat pengait yang biasa ia pakai untuk menarik jaring ikan. Dan mengangkat mangkuk besar tersebut keatas, lalu mengambil sang bayi dengan penuh kelembutan. Sikapnya yang penuh kelembutan itu, membuat Fahmi sahabatnya terheran-heran. Perawakan tinggi besar dan bertato jangkar di pelipis Manson, sama sekali tidak menunjukkan kalau Manson bisa menggendong bayi. Ditambah bayi itu sepertinya tersenyum senang ditimang-timang oleh Manson. Bayi yang sangat cantik, benar-benar cantik.
                “Pemandangan langka melihat Manson menggendong bayi seperti itu,,” gumam Fahmi sambil kemudian menutup layar yang tadi ia kembangkan, terlebih lagi Manson menggendong bayi diatas perahu yang sedang diombang-ambingkan ombak kencang. “Tunggu dulu!” aktifitas Fahmi mendadak terhenti, ia seperti baru menyadari sesuatu. “ ITU BAYI!!!” Teriaknya langsung berbalik badan kearah Manson.
                Seolah terbius dengan kecantikan sang bayi, Manson tidak memperdulikan keterkejutan Fahmi, ia menjawab dengan sangat lembut namun tegas, “ Iya ini bayi,,, ini anakku,, namanya Sea”  jelas Manson tanpa sedikitpun menoleh dari bayi cantik tersebut.
                “Sea! Tolong buatkan aku teh hangat ya!” suara paman mengagetkanku. Ia tampak terburu-buru melepas jaket hujannya yang basah kuyup begitu masuk kerumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
                Aku menoleh padanya dan melihat keluar jendela. Aku baru sadar kalau diluar sedang hujan. Aku lalu menutup buku yang sedang kubaca dan mencoba membantu Paman yang tampak kesulitan melepaskan jaket hujannya.
                “Sudah, sudah,, Aku bisa melakukannya sendiri,, tolong kamu buatkan teh hangat untukku sana,,” 
                “Iya,,” aku mengangguk lalu ke dapur, dengan cekatan aku menyalakan kompor dan memanaskan air. Sementara aku mengambil cangkir raksasa milik Paman, dan menuangkan gula tiga sendok, kemudian menaruh teh celup yang kuambil dari dalam toples untuk persediaan sebulan. Paman suka sekali teh, ia bukan penggila kopi. Tidak seperti sahabatnya sekaligus partner kerja yang terkadang membuat Pamanku pulang sambil menggerutu tidak jelas, atau malah tersenyum sendiri. Paman Fahmi suka sekali kopi pahit, jika beliau berkunjung kemari, pasti nomor satu yang ia tanyakan. “Sea, ada kopi?”
                “Tentu saja ada paman,,” jawabku geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Padahal walaupun ia tidak menanyakannya pun akan kubuatkan kopi special untuknya. Paman Fahmi baik sekali padaku, dan sifatnya yang humoris sering membuatku tertawa terpingkal-pingkal mendengar kisah-kisah lucunya yang terjadi di laut bersama Paman Manson.

                Hari ini sepertinya ada pembicaraan seru yang terdengar olehku dari pembicaraan sepasang bibir dua sahabat itu. Bukan maksud menguping, tetapi suara dentingan adukan sendok dengan cangkir ini dikalahkan oleh suara berkelakar dua manusia seram namun memiliki hati selembut seorang ibu.  Aku mendengarkannya dengan seksama. Malah tanpa sadar, aku menghentikan adukan tehku hanya sekedar agar suara dentingannya tidak mengganggu pendengaranku akan pembicaraan mereka.
               
                “Kalau saja tadi kita cepat sedikit! Dan angin ada dipihak kita,, makhluk itu pasti tidak akan bisa kabur begitu saja!!!” Ujar Fahmi menggebu-gebu.
                “Harusnya tadi kau mendengarkan aku! Jangan langsung bertindak! Kita tunggu dulu makhluk itu mendekat, lalu kita jaring! Kau sungguh tidak sabaran Fahmi!”
                Fahmi memegang dagu tengah berfikir, seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu.
                “Fahmi,, apa kau berfikiran hal yang sama denganku?” Manson mencoba menelisik apa yang sedang difikirkan sahabatnya itu.
                Fahmi menaikkan satu alisnya. Itu tandanya iya.
                Wajah Manson memerah. Menahan amarah dan ketakutan yang luar biasa,tangannya mengepal membuat urat-urat hasil kerja kerasnya menunjukkan diri.
                Fahmi tidak bisa berkomentar apa-apa. Ia mengerti perasaan sahabatnya itu begitu makhluk tadi itu muncul. Sesuatu yang sulit dijelaskan namun mengancam.
                Manson memukul meja,lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang kesetanan. Disusul oleh tawa Fahmi yang juga seperti orang kesetanan. Dua sahabat ini memang cocok satu sama lain.
                Setelahnya, Manson menarik lengan baju Fahmi dengan kasar dan setengah berbisik ke telinga Fahmi, “aku tidak akan membiarkan milikku diambil oleh siapapun,termasuk makhluk itu!”
               
                Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua laki-laki bertubuh besar ini. Ah paling dilaut mereka dikerjai lagi oleh lumba-lumba yang jahil. Kedua pamanku ini entah kenapa anti sekali membunuh lumba-lumba. Tapi baguslah, kalaupun mereka tidak antipati seperti itu, aku yang akan menentang mati-matian jika mereka pada akhirnya memutuskan untuk membunuh lumba-lumba salah satu jenis ikan kesayanganku.
                Aku menaruh nampan berisi gelas-gelas besar kopi dan teh, pesanan mereka. Tidak lupa pula sekalian aku menyuguhkan cake manis buatanku tadi malam untuk teman minum mereka. Paman Fahmi yang lebih dulu melahapnya. Dan memuji rasa kue buatanku ini.
                “Enak sekali Sea kue ini,, kamu yang membuatnya?” Tanya paman Fahmi kemudian menyeruput kopi kesukaannya. “Ahhh paduan yang pas! Kopi dan kue manis buatan si anak cantik Sea,,”
                Aku menyunggingkan senyum mendengarnya.
                Kemudian Paman Manson juga ikut mencicipi, aneh, biasanya dia juga tidak pernah absen memuji apapun buatanku. Rahangnya yang sedang menyeruput teh buatanku terlihat tegang. Aku tau itu artinya apa, pasti ada yang sedang ia khawatirkan. Dan yang bisa membuatnya seperti itu hanya kekhawatirannya tentang aku.
                “Paman,, aku tidak apa-apa,, aku baik-baik saja,, aku sudah tidak mengalami sakit lagi akhir-akhir ini,,” Jelasku sambil meraih jemarinya, mencium punggung jemari yang kasar itu sebagai tanda hormat dan memeluk tubuh besarnya sebagai tanda kasih sayangku pada pamanku ini.
                Dan akhirnya, rahangnya yang keras itu mereda. Ia menyunggingkan senyum hangat yang menjadi favorit dalam hidupku. Senyuman hangat seorang ayah yang penuh dedikasi menjaga putrinya. Walaupun sebenarnya ia bukan ayah biologisku, tapi perlakuannya melebihi seorang ayah kandung sekalipun. Senyum paman Fahmi juga ikut merekah melihat pemandangan indah ini. Ya tuhan,, aku begitu bahagia ada di tengah-tengah mereka. Biarkan mereka tetap menjadi alasan untukku bertahan di hiruk pikuk daratan penuh pasir pertahanan ini.

***

                Dandelion,, satu-satunya temanku di desa nelayan ini yang selalu setia dan pasti menjaga semua kerahasiaanku pada kehidupan disekelilingku. Namanya indah sekali, seindah ketulusan nan jernih dari hatinya. Meskipun banyak pria disini mencemooh dan mengucilkannya, sebenarnya mereka hanya melihat dari fisik Dandeli saja. Sahabatku ini sangat mempesona begitu dia mencurahkan imajinasinya pada sebuah kanvas. Sebuah kanvas berisi lukisan indah yang dipandang sebelah mata oleh mereka yang tidak mengerti apa itu karya seni. Dan dipandang sebelah mata oleh mereka yang mengerti seni namun mendadak menjadi tidak mengerti seni begitu melihat fisik sang pelukis. Seorang gadis pincang pada sebelah kaki kirinya, dan dilengkapi oleh kelainan pada kulitnya yang memiliki pigmentasi kurang sempurna. Atau mereka menyebutnya dengan albino yang pincang.
                “Sea,, apa menurutmu Ibuku telah memberiku nama yang salah?” tanya Dandeli tiba-tiba ketika kami sedang merenung diatas tebing yang bisa langsung terlihat lautan lepas dari atasnya.
                Aku memiringkan kepalaku dan menaikkan alis, “Dandelion? Memangnya ada yang salah dengan nama itu?”
                “Bukankah seharusnya aku diberi nama si Aneh? Atau si Pincang? Seperti yang mereka katakan padaku? Nama Dandelion terlalu indah dan berat untuk kupikul Sea,,” jawabnya sedih.
                Aku menoleh kearahnya, menatap matanya yang tidak mampu membalas menatapku sebagai sahabatnya karena sedang kepayahan menahan air mata yang semakin menetes. Hamparan lautan lepas dibawah sana membantuku mencari cara agar Dandeli tidak melarut dalam kesedihannya akan pengaruh perkataan manusia-manusia kejam disekeliling kami.
                “Dandeli,, kamu tau kenapa Paman Manson memberiku nama Sea?”
                Dandeli mengangkat bahu.
                “Sea adalah lautan. Katanya, dia menamaiku seperti itu, karena aku ditemukan dilautan lepas. Kamu tau kan Pamanku itu sangat menyukai Laut. Dia menyayangiku, makanya dia menamaiku dengan nama Sea,berharap nantinya,, aku akan seperti lautan,, Luas dan dalam ketika mengarungi kehidupanku nantinya,,“
                Berhasil, Dandeli menghapus airmatanya, “lalu apa arti Dandelion?” tanyanya.
                “Memangnya kamu tidak tau?” Aku menyenggol bahunya.
                “Aku tau, Dandelion adalah sebuah bunga kecil yang pernah ditemukan oleh ayahku sewaktu dia pergi menanjak ke sebuah gunung dimasa mudanya,,”
                “Ya,, Dandelion adalah sebuah bunga kecil,, bunga yang tidak pernah dijadikan pajangan cantik dalam pot-pot diatas meja, karena dia tidak secantik mawar yang berduri. Dia juga tumbuh di tengah-tengah ilalang, sehingga dia tersembunyi dibalik rerumputan.Namun angin sejuk kehidupan pasti menemukannya, dia akan terbang bebas dan berhenti disuatu tempat, memulai kembali menjadi bunga baru yang indah. Mungkin dari luarnya Bunga Dandelion terlihat rapuh dan biasa saja, tapi tidak semua bunga bisa berteman dengan angin dan terbang bersama angin kan? Bunga mawar? Ya dia cantik, tapi hanya diam di tempat dan menunggu orang lain memetiknya,, sedangkan Dandelion, dia bisa terbang kemanapun dia inginkan dibantu oleh angin kehidupan yang membawanya,,”

                Dandeli tersenyum haru mendengar kata-kataku. Aku senang melihat sahabatku ini kembali menyunggingkan senyumnya.
                “Ini untukmu Sea,,” Dandeli melepaskan gelang kaki nan cantik dari kakinya yang pincang.
                Aku terkejut melihatnya. “Kenapa? Bukankah ini jimat dari almarhum ayahmu agar kakimu kuat saat berjalan?”
                “Ya,, lalu kenapa?” Ujarnya santai.
                “Bukankah ini benda berharga dalam hidupmu Dandeli? Aku tidak bisa menerimanya,,” aku memberikan kembali gelang kaki itu ke telapak tangannya.
                “Ya ini berharga sekali bagiku,, oleh karena itu, aku ingin kamu menjaganya. Saat ini aku tidak memerlukan kekuatan untuk melangkah, kamu tau kan? Aku memiliki angin untuk terbang tinggi memenuhi harapanku,, tapi kamu,, kamu lebih membutuhkan kekuatan dari jimat ini untuk melangkah mengarungi hidupmu yang lebih sulit dan luas dariku Sea” dengan lembut, Dandeli memakaikan gelang kaki cantik itu ke kaki kananku dan tersenyum puas setelahnya. “Lihat,, lebih cantik jika kaki indahmu yang memakainya,,” ucapnya dengan senyum mengembang.

***
               
                Angin malam hari ini sangat kencang sekali bertiup. Kerincingan anginku dijendela tidak henti-hentinya bermain. Dan aku masih memperhatikan gelang yang ada dikakiku ini. Cantik dan berharga. Apa benar kata Dandeli, aku masih belum memiliki kekuatan yang cukup untuk mengarungi hidupku yang luas, makanya dia memberikanku gelang ini dan memakaikannya langsung dikakiku.
                Argh! Sakit itu datang lagi! Dada ini berdebar tidak karuan, seolah ingin menguak kulitku dari dalam. Bersamaan dengan rasa sakit itu bayangan-bayangan yang tidak kukenali muncul dikepalaku dan membisikkan suara-suara tidak jelas. Apa ini? Aku terbungkuk dan beringsut di lantai kamarku. Mencari-cari obat penghilang rasa sakit yang luar biasa kurasakan. Tapi percuma, yang kubutuhkan hanya air laut! Aku menguatkan diriku melangkah keluar, berusaha tidak membuat suara agar paman tidak mengetahui apa-apa mengenai aku.  Aku melepas paksa gelang kaki pemberian Dandeli, suara gemerincingnya bisa membangunkan paman. Kulempar gelang itu ke atas tempat tidur dan segera keluar, tujuanku satu-satunya adalah tebing.
                Angin kencang menerpa wajahku dan menghapus jejak-jejakku dipasir. Dada ini semakin sakit dan membakar. Kepalaku dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku harus ke tebing,, aku harus ke laut. Jika tidak orang lain selain Dandeli akan tau apa yang ada didiriku. Laut,, aku harus terjun ke laut atau sakit ini akan semakin menyiksaku. Aku ingin menghapus bayangan-bayangan yang ada dikepalaku saat ini. Bayangan-bayangan itu hanya membuat kepalaku sakit! Dan tanpa berfikir panjang,begitu aku sampai di tepian tebing yang dibawahnya terdapat hamparan laut nan dalam. 
                     Ini waktunya sakit ini selesai.

-to be continued-
 write by winda 
Jan 1, 2021 0 komentar

Monolog baru dihari kedua 2021


Bagaimana hari ini?
ketika kamu masih mencari tanda dari yang Maha satu akan pencarian?
mendulum dalam semak seolah mencari sebuah jarum yang patah dari sambungan lainnya?
selama kamu mampu untuk bersenda gurau dengan sengsara dalam hati, semua akan menjadi kebiasaan tanpa perlu dihiraukan.
kamu mungkin merasa baik baik saja, tapi dunia melihatmu sungguh mengenaskan.
atau malah mengagumkan?

angin segar akan selalu bersemilir meniup helai demi helai harapanmu yang masih terambing.
menjelajah akan manisnya sebuah angan yang bukan lagi milikmu.
tidak mengapa kamu melihatnya dengan kagum, mungkin ini akan menjadi sebuah jalan untuk kamu mulai belajar mengagumi perjuanganmu sendiri...

tidak semua kilau akan mendapat tempat untuk cemerlang...
dan tidak semua lusuh tidak memiliki tempat untuk kelak berkilau..

Kamu pun mendiamkan pikiranmu sendiri dan terabaikan suasana.
terabaikan dengan pilihan tanpa memilih...

kamu benar, pada saatnya ditelinga yang tepat untuk mendengar..
kamu baik, pada saatnya dihati yang tepat untuk memperbaiki.

kelak kamu akan mengerti...
apa fungsimu dalam memiliki jiwa dalam sebuah raga yang tidak sempurna...
apa fungsi dari keinginanmu yang belum tercapai...
dan 
apa fungsi hari ini dan berikutnya....

atau
ada pertanyaan lain yang lebih butuh untuk ditanyakan?








Jul 20, 2019 0 komentar
Nov 8, 2016 0 komentar

SEA 5 - Siapa?

   
sumber gambar : pinterest

   “Cepat beritahu ibu Dandeli,, apa yang kamu ketahui tentang Sea?”
                Dandeli hanya bisa menunduk. Dia tidak berani menatap kedalam mata ibunya, ia tau kalau sampai ia menatap ibunya, dia tidak akan bisa menyembunyikan setetes pun rahasia sahabatnya itu.
                Suara hujan diluar sana semakin membuat hawa dingin merasuk kedalam selimut mereka, hangatnya dekapan ibunda Dandelion tidak dapat melawan hawa dingin yang ada dalam benak Dandeli. Ingin sekali rasanya Dandelion menceritakan jejak demi jejak yang ada diingatannya mengenai Sea. Ingin sekali rasanya Dandelion menceritakan bagaimana kemilaunya Sea saat berada didalam lautan. Tentang bagaimana mengesankannya Sea yang bisa berlama-lama berada didasar laut. Tentang bagaimana munculnya insang yang ada dibalik telinga Sea. Tentang bagaimana tiba-tiba Sea menjadi manusia yang memiliki kelebihan luar biasa itu. Kelebihan yang tidak bisa diterima oleh mereka yang terlihat wajar. Ya, Dandelion tidak terlihat wajar, dia cacat, oleh karena itulah dia bisa menerima dan menjaga kepercayaan Sea mengenai itu semua. Mereka berdua sama-sama berbeda dari manusia lain.
***
                Setelah memindahkan Sea yang tiba-tiba rubuh dan pingsan ke dalam kamar, Samudra merasa sedikit bersalah terhadap Sea. Karena dia terlalu memaksa Sea untuk menceritakan hal berat yang baru dialaminya di laut.  Mungkin Sea benar mengenai kapalnya yang karam. Sekarang dihadapannya Sea dengan muka pucat dan tangan serta kakinya yang sedingin es terbaring diatas tempat tidur. Sam semakin tidak tega melihat kondisi Sea yang merintih-rintih dan mengigau tidak jelas. Dari kondisi fisiknya, Sam tau, Sea benar-benar sedang dalam kesulitan. Hanya saja, dia tidak tau apa yang harus diperbuat selain mengompres kening Sea dan menyelimutinya dengan selimut tebal dari lemari. Tapi ada satu hal yang yang mengganjal benaknya, jika benar Sea terombang-ambing dilautan, lalu mengapa kulitnya tidak terbakar? Justru Sea memiliki kulit yang berkilau dan bersih. Atau jangan-jangan Sea adalah,,, tapi tidak mungkin! Itu hanya sebuah dongeng dari ayahnya. Dongeng rakyat yang hanya mengandalkan imajinasi. Itu tidak mungkin.
***
sumber gambar : kwikku.com 

                Hawa yang begitu dingin dalam gelap ini mendadak merasuk menyerang pertahananku. Sepertinya salah jika aku malah membiarkan diriku masuk kedalam bayangan pikiran-pikiran ini. Hanya saja terlalu lelah dan menyakitkan untuk terus melawan selama ini. Mungkin ini sudah waktunya. Waktunya aku untuk selesai.
                “Sea,,,” ada yang memanggilku. Suara itu lagi.
                Aku mencari-cari siapa yang memanggilku dalam gelap ini. Ketakutan kembali menjalar memenuhi setiap ruang dalam diriku. Tapi entah kenapa, sesaknya keingintahuanku akan ribuan pertanyaan malah mengalahkan ketakutan itu sendiri. Mataku mencari-cari dalam gelap yang sangat hitam. Sampai aku menyerah dan tiba-tiba silau itu sekelebat datang dengan cepat. Silau yang berpendar menyakitkan mata untuk melihatnya. Namun lama kelamaan silau itu perlahan melembut dan menjadi kilau yang indah. Tarian warna-warni cahaya yang indah dan tidak pernah kulihat sebelumnya. Kilau aurora yang berkerlap kerlip dan mulai mengantarkan sesosok yang belum bisa kulihat jelas.
                “Sea,,” kembali suara itu memanggilku.
                Aku mendongak memaksakan untuk melihat siapa yang bicara padaku. Terkejut dengan apa yang kulihat. Aku seperti melihat cerminan diriku sendiri ketika sedang berada dalam laut. Wanita ini persis mirip sekali denganku, hanya saja kulitnya yang lebih berkilau dan matanya yang berwarna hijau menjadi pembeda antara kami. Dia juga lebih cantik dalam balutan gaun yang baru kali ini kulihat jelas dalam bayanganku. Siapa dia? Bibirku tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun. Aku mengenali suaranya, suara yang selama ini selalu mengganggu benakku. Yang membisikkan berbagai hal yang tidak bisa kumengerti sama sekali. Dia yang selama ini menggangguku dalam kehidupan sebagai manusia normalku. Mendadak kemarahanku memuncak. Dialah yang membuat aku merasakan sakit yang luar biasa dan sesak yang luar biasa selama ini. Dialah yang telah membuatku seperti ini! Menjadi manusia aneh! Entah sihir apa yang dia lakukan padaku hingga membuatku seperti ini. Aku sangat membencinya, siapapun dia. Aku benar-benar membencinya dengan segenap hatiku.
                “Sea,, dengarkan aku. Kamu sudah berada ditempat yang tepat dan aman! Dan,,,” belum selesai wanita itu selesai bicara, aku melihatnya seperti menahan sakit yang luar biasa. Aku tau, aku juga seperti itu ketika sakit itu datang. “,,dan,, jangan berikan kepada siapapun kalung itu!”
BLASH! Seketika silau cahaya yang menyakitkan mata itu datang dan menghilang dengan cepat. Semua kembali gelap.
***
Samudra masih berada didalam keraguannya sementara Sea belum sadar. Apakah Sea benar-benar salah satu kaum yang ada dalam cerita rakyat yang ayahnya pernah ceritakan? Jika dirunut dari keanehan-keanehan dan cerita janggal serta betapa indahnya fisik Sea, Sam yakin jika dugaannya benar. Tapi yang membuatnya ragu, apakah cerita rakyat itu benar-benar pernah terjadi?
Tiba-tiba Sea membuka mata dan mendapati Sam sedang menatap. Matanya masih terasa berat dan alam sadarnya masih membuatnya linglung. Sea masih memikirkan kata-kata wanita yang ada dalam bayangannya tadi. Ia bahkan tidak memedulikan tatapan penuh pertanyaan Sam.
“Boleh aku minta air?” pinta Sea pada Sam yang masih menatap kearahnya.
Sam masih menatap.
“Heiii Sam,, aku haus,,” kibasan tangan Sea tidak membuat Sam bergerak.
Sam masih menatap Sea. Sam teringat sebuah kisah yang ayahnya pernah ceritakan. Sebuah rahasia lautan yang tidak semua orang dapat ketahui. Kehidupan penuh misteri dalam air yang sampai saat ini belum bisa terungkap kebenarannya. Meskipun beberapa bukti telah ada di beberapa museum, namun banyak para peneliti yang menyerah untuk memecahkan misteri itu semua.
Sea geram, lalu mengambil bantal dan melemparnya langsung ke wajah Sam. Tapi tangan Sam lebih cepat daripada yang Sea kira. Secepat kilat Sam menangkis bantal yang dilempar Sea, kemudian langsung mencengkeram lengannya.
“Siapa kamu Sea?”

May 13, 2016 0 komentar

Masa dimana,,

sumber gambar : Favim.com
 
"Ada masa dimana kamu membutuhkan tempat yang hening
dan jauh dari keramaian.
Hanya untuk mendengarkan dengan seksama 
pikiranmu yang berkecamuk
 dan pikuk." -wnd
 
Dan dari mana mulainya ketika jiwa ini terpental?
jauh dari kegilaan ego yang makin membumbung dan terjal tuk dipertahankan.
iya aku tau langit..
tinggi dan menjanjikan semu tuk digapai ketika berbaring.
indah dan menjanjikan semu abadi tuk senantiasa.
 
begitukah cara ego bekerja?
membiarkan jiwa dan rasa menjadi korban dalam damai yang tidak nyata?
sedangkan raga hanya bisa bekerja keras membantu menampilkan ceria?
sampai terombang ambing pada gila yang mengiris perih?
sampai tidak dapat percaya pada apa yang katanya setia?
ini kah caramu bekerja?
 
Rumput ini sempat basah sebelum terinjak.
Hujan yang meratakan basahnya dan menghindarkannya dari debu.
tidak bisakah kau seperti mereka?
setidaknya berikan embun yang tenang dalam kecamuk ini, setidaknya.
 
jelas sudah, kemarahan ini ditujukan untuk siapa.
Egoku hanya membuatku kembali mencabik damai yang sejuk.
menerobos bingar dan merubah haluan menuju rasi bintang yang pudar.
beginikah caramu membalas loyalku?
membuatku panas dan miris menyesali semuanya.
menjadikanku seorang pemarah yang tidak tau kemana harus ditujukan.
 
kini, biarkan aku tenang sejenak..
menikmati gemuruh hati ini hingga tau sesuatu yang dicari.
pergi jauhlah sejenak hai ego.
aku ingin tepat bertindak.
tak ingin salah lagi dan lagi.

Tenangkan aku hai gemericik air.
rendahkan hatiku hai bukit.
pergilah jauh hai kabut.
tak apa dingin ini menusukku,, 
karena dingin mengingatkanku untuk tidak mati rasa.

ingatkan aku akan setianya.
ingatkan aku akan usahanya.
ingatkan aku akan apa yang kurasakan juga.

doakan aku langit.

-wnd-
dibukit hijau dalam balutan pikuknya isi kepala.



 sumber gambar : favim.com
 
 just tell me.
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
Aug 21, 2014 0 komentar

Judul ini bernama 'kemarin'.


Bisa saja aku hanya duduk dan diam disini. Selalu menunggu dalam sela-sela kehangatan secangkir teh yang asapnya mengebul menerjang hawa sejuk rintiknya gerimis. 
Bisa saja aku hanya memangku tangan dan memeluk lutut ini yang mulai lunglai di sisi sudut nan nyaman. Hanya untuk melihat dan memastikan sebuah harap itu masih bisa meluangkan waktunya untukku.
Bisa saja dan bisa saja,,, semua halusinasi ini menjadi payah dan memudar dalam sebersit sinar pagi yang ada didepan sana.

Harum. Itu namaku. Seorang perempuan muslim biasa saja yang baru saja hatinya dipatahkan oleh kalimat ketidak beruntungan. Tapi tampak beruntung bagi mata yang hanya ingin melihat betapa indahnya senyumku dihadapan mereka yang melahap namanya nama baik.

"Jadi bagaimana? Semua yang kamu tanyakan sudah kujawab,, apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" Anisa yang kini kembali bertanya padaku.

Aku mengerti bahwa apa yang diberitakan terkadang mengacu akan menghalalkan tanpa didasari hadist atau isi dari Alquran. Tapi aku tidak tau bagaimana cara untuk memuaskan segala pertanyaan yang hadir dalam benakku bersamaan dengan hadirnya sebuah rasa yang pastinya bukan tanpa alasan menghadirkannya di hatiku saat ini.

"Nisa,, tapi apa jadinya jika kita berada dekat dengan yang haram namun kita tidak menyentuhnya sama sekali?" tanyaku.

"Sudah jelas,, dari awal kita sudah diharuskan untuk menjauhi yang diharamkan. Sama seperti ketika kita melihat sesuatu yang salah, yang malah kita justru bukan memperbaikinya, malah memakluminya. Sekarang aku tanya sama kamu Harum,, sebuah kesalahan itu, apakah harusnya dimaklumi atau diperbaiki?"

Lagi lagi aku hanya termangu akan perkataan Anisa. 

"Aku sadar, bahwa kadang kita sebagai manusia sulit membedakan antara keinginan dan kenyataan yang salah. Terkadang kita kalah dalam peperangan melawan keinginan kita sebagai manusia yang harusnya taat akan perintah Tuhannya. Dan kadang kita sebagai manusia merasa mewajarkan mengingkari perintah Tuhan kita hanya karena sebuah alasan, jalan buntu. Ya kan?" Anisa memandangku dengan tajam. " Tapi,, apa kita pantas menentukan yang salah itu wajar untuk dimaklumi,sedangkan di Alquran dan hadist,, sudah jelas-jelas itu semua SALAH. Apa kita pantas membuat peraturan sendiri melawan Alquran dan hadist hanya demi pemakluman semata? Apa itu yang diharus diwajarkan?"

Aku berusaha menyelami baik baik perkataan Anisa. 

Semua ini mulai ada benang merah yang membuatku semakin luluh akan kata taat. Cerminan cerminan segala pengalaman orang lain dan pengalamanku hari hari kemarin. Yang membuat semua ini berada dalam sebuah jalur hikmah yang mendalam.

Ya, hari kemarin yang membuatku tersaruk saruk  akan sebuah pematahan hati sepihak. Sebuah hari kemarin yang menentukan berada dititik mana saat ini aku berada. Seorang Harum ternyata hanya perempuan kecil yang menunggu genggaman hujan untuk meneduhkannya dari gersangnya hati. Yang justru dititik ini, justru aku tau,, Tuhan memiliki seribu cara untuk merangkulku. Merangkulku yang hampir saja melupakan bahwa Tuhan MAHA ADIL,, Tuhan MAHA BIJAKSANA.

Ya, mungkin. Jika saja hari kemarin itu aku tidak tersungkur jatuh dan hatiku patah sepatah patahnya. Aku tidak mungkin mendapatkan jawaban ini. Aku tidak mungkin menemukan bahwa bijaknya Tuhan yang luar biasa Maha itu, justru ada didepan hidungku selama ini. Entah apa yang membutakanku hingga tidak melihatnya sama sekali. Mungkin pemakluman itu sendiri, atau,, hanya sebuah keinginan yang berkedok kebuntuan. Ya,, Maha Besar Tuhanku yang selalu memiliki ribuan cara yang diluar nalarku untuk membuktikan bahwa ini semua untuk kebaikan hambanya.

Dan bila saja,, secangkir teh hangat ini tidak ku genggam. Aku tidak mungkin merasakan rasa manisnya yang hangat. Aku tidak akan mungkin meneguknya dengan kesabaran menunggu dingin. Semua ini hanyalah proses akan hari kemarin.

Hari kemarin yang lama diingat namun singkat dilewati. 

Aku Harum. Seorang perempuan kecil yang masih tumpul akan pengetahuan namun perlahan mengerti, bahwa yang salah harus diluruskan, bukan untuk dimaklumi. 

 

sumber gambar : favim.com

May 20, 2014 0 komentar

Terkadang,seandainya dan setidaknya?

sumber gambar : Favim.com

"Seketika keinginan kamu menjadi nyata ketika kamu kecil, 
tapi membuyar saat kamu dewasa,, 
tapi itu hidup kan? 
Ketika kamu sibuk untuk hidupmu atau kamu malah menyibukan diri untuk kematianmu?"


Ada kalanya ketika kamu benar-benar ingin mati saja? Tapi kamu terlalu takut untuk itu, dan terlalu pengecut untuk mengambil keputusan itu. Dan hanya satu buah pilihanmu, adalah hidup dan hadapi semuanya meskipun kamu harus berdarah-darah dan ada dipersimpangan ambang kematian itu sendiri. Kemudian ketika kamu memenangkan pertaruhan itu, justru kamu dihadapi oleh kenyataan yang lebih mematikan lagi dan membuang energimu sia-sia. Ya, kamu tidak tau berjuang untuk apa selama ini,, untuk siapa? Karena kamu tau, selama ini kamu hanyalah sebuah atribut bagi orang lain,, bahkan untuk sebuah harapan memiliki hidupmu sendiri saja, itu mustahil, yang kamu bisa hanya menulis harapan dan harapan,,, tanpa tau kapan harapan kamu itu bisa kamu rengkuh.

Terkadang,, ya, terkadang. Keinginan itu begitu besar dan meletup-letup. Hanya untuk sebuah kata, yaitu bahagia. Yang kadang juga, kita begitu panik takut tidak mendapatkannya, hingga membuat kita justru jauh darinya.

Normalnya, bahagia itu kita yang ciptakan kan? Kata orang bahagia itu ada dalam diri masing-masing,, kata orang bahagia itu kita yang tentukan. Tapi bagaimana nasib kamu, ketika kamu menyadari dan akhirnya tau, bahwa bahagia kamu ternyata ada dalam genggaman orang lain? 

Bagaimana jika ternyata lebih banyak orang yang tidak bisa memahamimu, dan hanya satu orang yang memahamimu. Tapi, justru dia yang satu-satunya yang malah menggenggam bahagiamu dan pergi membawanya begitu saja tanpa memperdulikan nasibmu nanti?

Kamu tau? Ketika sebuah mawar merekah dan harumnya menawan hati. Mawar itu tau, bahwa kebahagiaannya akan dipetik dan kemudian dia mati dalam layu. Ya, meskipun sebelumnya yang memetik kebahagiaannya akan terluka sedikit untuk durinya. Tapi mawar rela menyerahkan hidupnya untuk dipetik dan mati layu. Itukah pengorbanan? 

Tidak siapapun yang kemudian memahamimu, karena mereka bukan kamu. Tapi kamu justru memahami dan memaklumi perbuatan mereka, karena kamu sadar, kamu memang sulit untuk dipahami. Jadi seperti apa jadinya? 


Total Pageviews

Blogger templates

 
;