Diam. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Mereka akan
melihatku menjadi seorang yang aneh jika aku mendadak menjadi banyak bicara.
Buatku, diam adalah istanaku. Benteng terbesarku yang mampu melindungiku dengan
kokoh. Banyak yang mempertanyakan sikapku yang diam seperti ini. Diam, dingin,
jarang tersenyum, dan seperti enggan menjalani hidup. Aku tidak peduli yang
lain berpendapat apa. Sikap ini, adalah satu-satunya pelindungku. Pelindung
yang paling aman sedunia. Pelindung dari efek samping sebuah keluarbiasaan yang
ada dalam diriku. Keluarbiasaan yang ingin kubuang jauh-jauh dan kulepaskan
dengan suka rela. Tapi itu tidak mungkin terjadi,,, kecuali ada seseorang yang
menusukkan pisau langsung tepat kejantungku.
Namaku
Sea. Sea yang memiliki arti laut. Pamanku yang memberikan nama itu ketika aku
masih bayi. Menurutnya, Sea adalah nama yang tepat untukku. Dengan kecantikan
laut yang luar biasa saat sore hari. Warna biru laut yang tenang namun penuh
ombak. Dan kedalamannya yang kadang tak terukur. Ia memberikan nama itu untukku
dengan segala kecintaannya pada laut bebas dan segala tumpah ruah kasih
sayangnya padaku saat itu.
Banyak
yang mengira, aku dan Paman adalah ayah dan putri kesayangannya. Sebenarnya
tidak. Aku yatim piatu ketika Paman menemukanku di lautan lepas saat ia
berlayar. Entah dari mana asalnya. Ia melihat sebuah perahu kecil
terombang-ambing tidak jauh dari kapal yang ia tumpangi. Begitu melihat isi
perahu kecil tersebut, ia menemukanku. Sendirian.
“FAHMIII!!
AKU MELIHAT SESUATU DISANA!!” Manson menunjuk-nunjuk sesuatu yang ia lihat tak
lazim di lautan lepas. Deru angin yang membantu ombak mengombang ambingkan
perahu sederhananya memaksanya untuk berteriak agar suaranya tak tertiup angin
kencang untuk sampai ke telinga Fahmi, sang sahabat yang selalu berlayar
menemaninya kemanapun dalam kegilaan lautan lepas.
Fahmi
cepat tanggap, dengan sigap ia segera membuka layar agar cepat sampai ke objek
yang terlihat oleh mata teliti Manson. Begitu dekat, Manson mulai mengenali
wujud benda itu. Ternyata sebuah mangkuk besar terbuat dari, “Apa ini?” Manson
tidak bisa mengenali mangkuk besar itu terbuat dari apa, dia baru melihatnya
saat itu. Tapi, ia sangat tau apa yang ada didalamnya. Seorang bayi perempuan
yang putih bersih,kulitnya bersinar tersentuh warna matahari. Manson terkejut,
ia tidak habis pikir bagaimana seorang bayi cantik nan mungil bisa ada dilaut
lepas seperti ini? Manson mengambil tongkat pengait yang biasa ia pakai untuk
menarik jaring ikan. Dan mengangkat mangkuk besar tersebut keatas, lalu
mengambil sang bayi dengan penuh kelembutan. Sikapnya yang penuh kelembutan
itu, membuat Fahmi sahabatnya terheran-heran. Perawakan tinggi besar dan
bertato jangkar di pelipis Manson, sama sekali tidak menunjukkan kalau Manson
bisa menggendong bayi. Ditambah bayi itu sepertinya tersenyum senang
ditimang-timang oleh Manson. Bayi yang sangat cantik, benar-benar cantik.
“Pemandangan
langka melihat Manson menggendong bayi seperti itu,,” gumam Fahmi sambil
kemudian menutup layar yang tadi ia kembangkan, terlebih lagi Manson
menggendong bayi diatas perahu yang sedang diombang-ambingkan ombak kencang.
“Tunggu dulu!” aktifitas Fahmi mendadak terhenti, ia seperti baru menyadari
sesuatu. “ ITU BAYI!!!” Teriaknya langsung berbalik badan kearah Manson.
Seolah
terbius dengan kecantikan sang bayi, Manson tidak memperdulikan keterkejutan
Fahmi, ia menjawab dengan sangat lembut namun tegas, “ Iya ini bayi,,, ini
anakku,, namanya Sea” jelas Manson tanpa
sedikitpun menoleh dari bayi cantik tersebut.
“Sea!
Tolong buatkan aku teh hangat ya!” suara paman mengagetkanku. Ia tampak
terburu-buru melepas jaket hujannya yang basah kuyup begitu masuk kerumah tanpa
mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku
menoleh padanya dan melihat keluar jendela. Aku baru sadar kalau diluar sedang
hujan. Aku lalu menutup buku yang sedang kubaca dan mencoba membantu Paman yang
tampak kesulitan melepaskan jaket hujannya.
“Sudah,
sudah,, Aku bisa melakukannya sendiri,, tolong kamu buatkan teh hangat untukku
sana,,”
“Iya,,”
aku mengangguk lalu ke dapur, dengan cekatan aku menyalakan kompor dan
memanaskan air. Sementara aku mengambil cangkir raksasa milik Paman, dan
menuangkan gula tiga sendok, kemudian menaruh teh celup yang kuambil dari dalam
toples untuk persediaan sebulan. Paman suka sekali teh, ia bukan penggila kopi.
Tidak seperti sahabatnya sekaligus partner kerja yang terkadang membuat Pamanku
pulang sambil menggerutu tidak jelas, atau malah tersenyum sendiri. Paman Fahmi
suka sekali kopi pahit, jika beliau berkunjung kemari, pasti nomor satu yang ia
tanyakan. “Sea, ada kopi?”
“Tentu
saja ada paman,,” jawabku geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Padahal
walaupun ia tidak menanyakannya pun akan kubuatkan kopi special untuknya. Paman
Fahmi baik sekali padaku, dan sifatnya yang humoris sering membuatku tertawa
terpingkal-pingkal mendengar kisah-kisah lucunya yang terjadi di laut bersama
Paman Manson.
Hari
ini sepertinya ada pembicaraan seru yang terdengar olehku dari pembicaraan
sepasang bibir dua sahabat itu. Bukan maksud menguping, tetapi suara dentingan
adukan sendok dengan cangkir ini dikalahkan oleh suara berkelakar dua manusia
seram namun memiliki hati selembut seorang ibu. Aku mendengarkannya dengan seksama. Malah
tanpa sadar, aku menghentikan adukan tehku hanya sekedar agar suara dentingannya
tidak mengganggu pendengaranku akan pembicaraan mereka.
“Kalau
saja tadi kita cepat sedikit! Dan angin ada dipihak kita,, makhluk itu pasti
tidak akan bisa kabur begitu saja!!!” Ujar Fahmi menggebu-gebu.
“Harusnya
tadi kau mendengarkan aku! Jangan langsung bertindak! Kita tunggu dulu makhluk
itu mendekat, lalu kita jaring! Kau sungguh tidak sabaran Fahmi!”
Fahmi
memegang dagu tengah berfikir, seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Fahmi,,
apa kau berfikiran hal yang sama denganku?” Manson mencoba menelisik apa yang
sedang difikirkan sahabatnya itu.
Fahmi
menaikkan satu alisnya. Itu tandanya iya.
Wajah
Manson memerah. Menahan amarah dan ketakutan yang luar biasa,tangannya mengepal
membuat urat-urat hasil kerja kerasnya menunjukkan diri.
Fahmi
tidak bisa berkomentar apa-apa. Ia mengerti perasaan sahabatnya itu begitu
makhluk tadi itu muncul. Sesuatu yang sulit dijelaskan namun mengancam.
Manson
memukul meja,lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang kesetanan. Disusul oleh
tawa Fahmi yang juga seperti orang kesetanan. Dua sahabat ini memang cocok satu
sama lain.
Setelahnya,
Manson menarik lengan baju Fahmi dengan kasar dan setengah berbisik ke telinga
Fahmi, “aku tidak akan membiarkan milikku diambil oleh siapapun,termasuk
makhluk itu!”
Aku
tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua laki-laki bertubuh besar ini.
Ah paling dilaut mereka dikerjai lagi oleh lumba-lumba yang jahil. Kedua
pamanku ini entah kenapa anti sekali membunuh lumba-lumba. Tapi baguslah,
kalaupun mereka tidak antipati seperti itu, aku yang akan menentang mati-matian
jika mereka pada akhirnya memutuskan untuk membunuh lumba-lumba salah satu
jenis ikan kesayanganku.
Aku
menaruh nampan berisi gelas-gelas besar kopi dan teh, pesanan mereka. Tidak
lupa pula sekalian aku menyuguhkan cake manis buatanku tadi malam untuk teman
minum mereka. Paman Fahmi yang lebih dulu melahapnya. Dan memuji rasa kue
buatanku ini.
“Enak
sekali Sea kue ini,, kamu yang membuatnya?” Tanya paman Fahmi kemudian
menyeruput kopi kesukaannya. “Ahhh paduan yang pas! Kopi dan kue manis buatan
si anak cantik Sea,,”
Aku
menyunggingkan senyum mendengarnya.
Kemudian
Paman Manson juga ikut mencicipi, aneh, biasanya dia juga tidak pernah absen
memuji apapun buatanku. Rahangnya yang sedang menyeruput teh buatanku terlihat
tegang. Aku tau itu artinya apa, pasti ada yang sedang ia khawatirkan. Dan yang
bisa membuatnya seperti itu hanya kekhawatirannya tentang aku.
“Paman,,
aku tidak apa-apa,, aku baik-baik saja,, aku sudah tidak mengalami sakit lagi
akhir-akhir ini,,” Jelasku sambil meraih jemarinya, mencium punggung jemari
yang kasar itu sebagai tanda hormat dan memeluk tubuh besarnya sebagai tanda
kasih sayangku pada pamanku ini.
Dan
akhirnya, rahangnya yang keras itu mereda. Ia menyunggingkan senyum hangat yang
menjadi favorit dalam hidupku. Senyuman hangat seorang ayah yang penuh dedikasi
menjaga putrinya. Walaupun sebenarnya ia bukan ayah biologisku, tapi
perlakuannya melebihi seorang ayah kandung sekalipun. Senyum paman Fahmi juga
ikut merekah melihat pemandangan indah ini. Ya tuhan,, aku begitu bahagia ada
di tengah-tengah mereka. Biarkan mereka tetap menjadi alasan untukku bertahan
di hiruk pikuk daratan penuh pasir pertahanan ini.
***
Dandelion,,
satu-satunya temanku di desa nelayan ini yang selalu setia dan pasti menjaga
semua kerahasiaanku pada kehidupan disekelilingku. Namanya indah sekali,
seindah ketulusan nan jernih dari hatinya. Meskipun banyak pria disini
mencemooh dan mengucilkannya, sebenarnya mereka hanya melihat dari fisik
Dandeli saja. Sahabatku ini sangat mempesona begitu dia mencurahkan
imajinasinya pada sebuah kanvas. Sebuah kanvas berisi lukisan indah yang
dipandang sebelah mata oleh mereka yang tidak mengerti apa itu karya seni. Dan
dipandang sebelah mata oleh mereka yang mengerti seni namun mendadak menjadi
tidak mengerti seni begitu melihat fisik sang pelukis. Seorang gadis pincang
pada sebelah kaki kirinya, dan dilengkapi oleh kelainan pada kulitnya yang
memiliki pigmentasi kurang sempurna. Atau mereka menyebutnya dengan albino yang
pincang.
“Sea,,
apa menurutmu Ibuku telah memberiku nama yang salah?” tanya Dandeli tiba-tiba
ketika kami sedang merenung diatas tebing yang bisa langsung terlihat lautan
lepas dari atasnya.
Aku
memiringkan kepalaku dan menaikkan alis, “Dandelion? Memangnya ada yang salah
dengan nama itu?”
“Bukankah
seharusnya aku diberi nama si Aneh? Atau si Pincang? Seperti yang mereka
katakan padaku? Nama Dandelion terlalu indah dan berat untuk kupikul Sea,,”
jawabnya sedih.
Aku
menoleh kearahnya, menatap matanya yang tidak mampu membalas menatapku sebagai
sahabatnya karena sedang kepayahan menahan air mata yang semakin menetes. Hamparan
lautan lepas dibawah sana membantuku mencari cara agar Dandeli tidak melarut
dalam kesedihannya akan pengaruh perkataan manusia-manusia kejam disekeliling
kami.
“Dandeli,,
kamu tau kenapa Paman Manson memberiku nama Sea?”
Dandeli
mengangkat bahu.
“Sea
adalah lautan. Katanya, dia menamaiku seperti itu, karena aku ditemukan
dilautan lepas. Kamu tau kan Pamanku itu sangat menyukai Laut. Dia
menyayangiku, makanya dia menamaiku dengan nama Sea,berharap nantinya,, aku
akan seperti lautan,, Luas dan dalam ketika mengarungi kehidupanku nantinya,,“
Berhasil,
Dandeli menghapus airmatanya, “lalu apa arti Dandelion?” tanyanya.
“Memangnya
kamu tidak tau?” Aku menyenggol bahunya.
“Aku
tau, Dandelion adalah sebuah bunga kecil yang pernah ditemukan oleh ayahku
sewaktu dia pergi menanjak ke sebuah gunung dimasa mudanya,,”
“Ya,,
Dandelion adalah sebuah bunga kecil,, bunga yang tidak pernah dijadikan
pajangan cantik dalam pot-pot diatas meja, karena dia tidak secantik mawar yang
berduri. Dia juga tumbuh di tengah-tengah ilalang, sehingga dia tersembunyi
dibalik rerumputan.Namun angin sejuk kehidupan pasti menemukannya, dia akan
terbang bebas dan berhenti disuatu tempat, memulai kembali menjadi bunga baru
yang indah. Mungkin dari luarnya Bunga Dandelion terlihat rapuh dan biasa saja,
tapi tidak semua bunga bisa berteman dengan angin dan terbang bersama angin
kan? Bunga mawar? Ya dia cantik, tapi hanya diam di tempat dan menunggu orang
lain memetiknya,, sedangkan Dandelion, dia bisa terbang kemanapun dia inginkan
dibantu oleh angin kehidupan yang membawanya,,”
Dandeli
tersenyum haru mendengar kata-kataku. Aku senang melihat sahabatku ini kembali
menyunggingkan senyumnya.
“Ini
untukmu Sea,,” Dandeli melepaskan gelang kaki nan cantik dari kakinya yang
pincang.
Aku
terkejut melihatnya. “Kenapa? Bukankah ini jimat dari almarhum ayahmu agar
kakimu kuat saat berjalan?”
“Ya,,
lalu kenapa?” Ujarnya santai.
“Bukankah
ini benda berharga dalam hidupmu Dandeli? Aku tidak bisa menerimanya,,” aku
memberikan kembali gelang kaki itu ke telapak tangannya.
“Ya
ini berharga sekali bagiku,, oleh karena itu, aku ingin kamu menjaganya. Saat
ini aku tidak memerlukan kekuatan untuk melangkah, kamu tau kan? Aku memiliki
angin untuk terbang tinggi memenuhi harapanku,, tapi kamu,, kamu lebih
membutuhkan kekuatan dari jimat ini untuk melangkah mengarungi hidupmu yang
lebih sulit dan luas dariku Sea” dengan lembut, Dandeli memakaikan gelang kaki
cantik itu ke kaki kananku dan tersenyum puas setelahnya. “Lihat,, lebih cantik
jika kaki indahmu yang memakainya,,” ucapnya dengan senyum mengembang.
***
Angin
malam hari ini sangat kencang sekali bertiup. Kerincingan anginku dijendela
tidak henti-hentinya bermain. Dan aku masih memperhatikan gelang yang ada
dikakiku ini. Cantik dan berharga. Apa benar kata Dandeli, aku masih belum
memiliki kekuatan yang cukup untuk mengarungi hidupku yang luas, makanya dia
memberikanku gelang ini dan memakaikannya langsung dikakiku.
Argh!
Sakit itu datang lagi! Dada ini berdebar tidak karuan, seolah ingin menguak
kulitku dari dalam. Bersamaan dengan rasa sakit itu bayangan-bayangan yang
tidak kukenali muncul dikepalaku dan membisikkan suara-suara tidak jelas. Apa
ini? Aku terbungkuk dan beringsut di lantai kamarku. Mencari-cari obat
penghilang rasa sakit yang luar biasa kurasakan. Tapi percuma, yang kubutuhkan
hanya air laut! Aku menguatkan diriku melangkah keluar, berusaha tidak membuat
suara agar paman tidak mengetahui apa-apa mengenai aku. Aku melepas paksa gelang kaki pemberian
Dandeli, suara gemerincingnya bisa membangunkan paman. Kulempar gelang itu ke
atas tempat tidur dan segera keluar, tujuanku satu-satunya adalah tebing.
Angin
kencang menerpa wajahku dan menghapus jejak-jejakku dipasir. Dada ini semakin sakit
dan membakar. Kepalaku dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku harus ke tebing,, aku harus ke laut. Jika tidak orang lain selain Dandeli akan
tau apa yang ada didiriku. Laut,, aku harus terjun ke laut atau sakit ini akan semakin
menyiksaku. Aku ingin menghapus bayangan-bayangan yang ada dikepalaku saat ini.
Bayangan-bayangan itu hanya membuat kepalaku sakit! Dan tanpa berfikir panjang,begitu
aku sampai di tepian tebing yang dibawahnya terdapat hamparan laut nan dalam.
Ini
waktunya sakit ini selesai.
-to be continued-
write by winda